Thursday, May 30

Bachelor's Thesis vs. Germany Trip

The so-called Bachelor's Thesis
I was motionlessly staring at the ceiling of the building, glancing awhile at the empty air, then staring back at the ceiling. Smiling from ear to ear, then frowning like one of  the guys from that Grumpy Old Men film for a moment, then smiling as widely as before again, then continued my thoughtful frowning back again.

That fatuous moment happened for almost half an hour. I was drowning in a deep reflective contemplation.

I have just submitted my bachelor's thesis earlier and simultaneously decided to give up all efforts to make it to Germany next week for an international student event in which I have luckily got selected among thousands of people to attend.

Those mixed feelings I have not been experienced for so long have eventually filled up the heart again. Those feelings which arise when the overwhelming relief and sadness choose your life as their meeting point. I'm sad and relieved at the same time. I'm 'slieved'! (don't bother to check the dictionary, it's my own vocabulary).

I'm relieved because such an energy-consuming and mental-excruciating anguish has finally come to its end. I'm sad because I over-estimated my capacity, overly confident that I could manage my time to succeed  in both my academic and non-academic undertakings throughout this particular semester. It seemed like I am winning the battle at the beginning, but I'm not. In fact, I'm completely losing it without even having the slightest realization about it. The bachelor's thesis won the battle alone.

Another thing is submitting my bachelor's thesis doesn't mean I'll be graduating this year. I'm still gonna have internship and some compulsory subjects to be taken in one (hopefully the last) whole semester. The fact that my campus has changed the minimum study duration up to 7 semesters made the feelings even worse. The suffer shall continue, soldier.

But wait, cancelling my trip to Germany this time doesn't mean my seemingly-impossible dream to visit another European country wouldn't come into reality this year, right? Having one more semester to be accomplished could also mean I'm actually granted an extension of time to achieve what I have not been able to achieve yet, couldn't it? The other bright side is I finally came to realize how I have got much better at prioritizing things now.

That's it. I'm being given a longer time to improve my CGPA so that I could go to my dream universities for my further studies. A longer period to look for scholarships to step my feet on the famously breathtaking land of Europe. Another chance to right my wrongs, to achieve the ultimate goals of my life. For that, I shall not lose my faith. For that, these mixed feelings shall be remedied before they generate more severe wounds.

That's it. I saw this wrongly before. God is actually granting me another opportunities. Chances that I should never ignore.

Yes, that's right, I'm still winning this battle.


The dejected gentleman who is still continuing his struggle to win the battle.

Thursday, May 9

"Doa untuk Maya"


Namanya Maya Uspasari dan tulisan ini bukanlah sebuah cerpen ataupun surat cinta.

Maya adalah seorang wanita penuh akurasi dan presisi yang terkadang agak sulit mengendalikan emosi. Meskipun dianugerahi kecantikan hati dan fisik diatas rata-rata oleh Tuhan, arogansi tidak pernah ada dalam kamusnya. Ia terlatih untuk selalu menjunjung tinggi independensi dan mengedepankan transparansi sejak kecil. Tipikal anak sulung.

Jarak umur kami sepuluh tahun. Kami tumbuh dirumah yang sama, dibesarkan oleh orang-orang hebat yang sama. Bedanya, aku tumbuh sebagai bungsu yang selalu mengincar superioritas sedangkan ia tumbuh sebagai sulung yang seringkali terpaksa menjadi inferior demi adik-adiknya.

Physical features kami begitu serupa. Tak jarang orang-orang berasumsi bahwa aku ini versi laki-lakinya dan dia adalah versi perempuanku. Aku memanggilnya Ayuk, panggilan paling mainstream untuk kakak perempuan di kampung kami dan beberapa daerah di southern Sumatra.

Ya, Maya terlahir sebagai kakak sulung dan saudara perempuanku satu-satunya. Perempuan kurang beruntung yang sudah terjebak diduniaku selama lebih dari 20 tahun. Kasihan. (Hahaha)

Entah tanpa disadarinya atau tidak, ia selalu menjadi role model bagi dua adik laki-lakinya. Dari hal yang paling superfisial seperti gaya tersenyum, tulisan tangan, sense of humor, sikap sewaktu membaca, dan memandang lawan bicara sampai hal-hal yang sangat profound seperti cara menyelesaikan masalah, mengutarakan argumentasi, dan mendemonstrasikan afeksi terhadap orang-orang yang dicintainya. Mungkin tanpa mencontoh tingkah polahnya, aku sekarang masih akan menjadi seorang introvert yang bahkan tidak punya nyali untuk sekedar bersosialisasi dengan sepupu-sepupu terdekat.

Kedekatan kami sangat eksesif. Waktu kecil, aku tidak bisa berhenti menangis berhari-hari dipelukan ibu saat ia harus meninggalkan kampung halaman untuk melanjutkan studinya. Aku merasa sangat cemburu saat ia menemukan pendamping hidupnya dan mengakhiri masa lajangnya. Aku menangis bahagia sembunyi-sembunyi saat ia dianugerahi Allah anak pertamanya. Aku tidak bisa tidur waktu ia dan kedua keponakan kecilku harus menempuh perjalanan berjam-jam, menyusul suaminya yang diberi kesempatan untuk berguru ke negeri kangguru. Entah bertepuk sebelah tangan atau tidak, tapi kecintaanku terhadap wanita satu ini levelnya infinity. Limitless. Tak terbatas, tak mengenal horizon.

Seperti saudara-saudara kandung pada umumnya, we don't always wear the same shoes and travel in the same boat. Kami berselisih paham. Kami bertengkar. Menurutku ia terkadang terlalu berpihak pada spontanitas, menurutnya aku berusaha terlalu keras untuk menjadi seorang visioner. Menurutku sikap dan pola pikirnya terkadang kelewat konservatif, menurutnya aku seringkali salah dalam menginterpretasi dan mengimplementasi istilah liberalism dan open-mindedness. Menurutku ia kadang kurang sensitif, menurutnya tingkat sensitifitasku sering diatas kewajaran.

Tapi untungnya, kami selalu berhasil menemukan cara mediasi yang tepat saat emotional disputes tersebut mulai naik ke permukaan. Mungkin karena kami berdua sangat paham bahwa being siblings maknanya tidak jauh berbeda dengan interdependensi emosional. Kami akan selalu saling membutuhkan dan mencintai satu sama lain sampai kapanpun. Sejak kepergian Ibu, Maya selalu menempati posisi teratas dalam daftar VVIW (Very Very Important Woman) di hidupku.

Hari ini Maya genap berumur 32 tahun dan tulisan ini sebenarnya sudah rampung sejak pekan lalu.

Doa-doa indah untuknya kukirim setiap hari kepadaNya. Semoga Maya tambah cantik hati dan parasnya, semoga ia  dan keluarga kecilnya senantiasa diberi kemudahan serta kemurahan rezeki, semoga impian-impiannya dalam hidup bisa segera tercapai, semoga keras kepala dan nafsu makannya cepat berkurang, dll. Namun, di hari spesialnya ini, aku hanya mengirimkan satu doa untuk Maya kepada Tuhan. Satu doa yang kukirim dengan intensitas yang lebih tinggi dari biasanya.

"Semoga dalam rentang waktu satu tahun kedepan, sosok Maya dalam hidupku dan ayahku tidak akan berubah sama sekali. Senantiasa indah dan sederhana seperti sekarang. Semoga dengan jarak dan waktu yang memisahkan kami, batin kami akan selalu dekat  dan semakin merapat"

As simple as that. 


Selamat Ulang Tahun, YukI love you so much!